AlanBIKERS.com – Kembali ketangguhan Suzuki GSX150 Bandit diuji dengan touring jarak jauh lewat program ‘Pertamina Enduro Go Out & Adventure Reveal New Destination Jakarta Timor Leste’ yang dilakukan oleh Bro Angga ‘FotoFotoMoto’ bersama Bro Adnan ‘Photology’.
Perjalanan mereka sudah dilakukan sejak tanggal 14 Agustus lalu dari Bekasi yang menempuh rute lewat Pantura menyusuri Pulau Jawa menuju Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Rote, NTT lalu berakhir di Timor Leste. Saat ini mereka sudah tiba di wilayah Timor Leste, inilah cerita yang dikirim Bro Angga dari Timor Leste.

Rabu Pagi (21/8) pukul 08.00 kami bertolak dari Sumbawa besar menuju kota Bima, perjalanan dihiasi lalu lalangnya hewan ternak yang dilepas begitu saja seolah-olah liar padahal ada pemiliknya dan herannya tidak pernah terdengar ada pencurian ternak disini.
Jalur mulus dan berliku dengan pemandangan indah teluk di sisi kiri jalan membuat kami harus konsentrasi penuh, jangan sampai celaka karena terbuai keindahan alam yang tidak pernah ada habisnya sepanjang perjalanan.
Berkali-kali kami harus berhenti untuk mengabadikan keindahan alam dan berdecak kagum. Ketika sedang mengambil gambar di perbatasan Bima dengan Dompu, seorang biker bule menghampiri kami, namanya Mr Nowel asal Irlandia bersama istrinya yang bekerja di PT Newmont. Ternyata keduanya memiliki hobi touring juga.
Mereka ini akan melintasi Sumatera akhir September nanti dengan mengendarai masing-masing motornya. Setelah menginap di Bima, esoknya paginya kami bertolak ke Labuan Bajo dari pelabuhan Sape.
Kamis (22/8) pukul 07.00 kami sudah harus bergegas menuju penyeberangan Sape, sebelumnya kami sempatkan berfoto di tugu 0 km Sape. Saat memasuki pelabuhan Sape kami disambut petugas Syahbandar pelabuhan Bro Riyan yang juga seorang bikers, dia telah mengetahui perjalanan kami melalui social media.
Alhasil, kemudahan memperoleh tiket dan posisi parkir di kapal bisa kami dapatkan, karena untuk penyeberangan di Indonesia Timur biasanya calon penumpang sudah memarkirkan kendaraannya sejak malam sebelumnya guna menghindari tidak terangkut kapal meskipun sudah memiliki tiket, disarankan sudah di pelabuhan beberapa jam sebelum kapal berangkat.
Dengan tiket seharga Rp.186.000/motor dan penumpang, kami bisa menikmati ayunan kapal selama 8 – 9 jam, gelombang laut cukup bersahabat dan cuaca cerah, kami bisa melihat pulau Komodo yang dilewati. Pukul 17.30 kapal sandar di Pelabuhan Labuan Bajo dan bergegas menuju Bukit Cinta, setibanya disana Sunset sudah menanti.
Sambil menikmati Sunset, beberapa warga lokal datang menawarkan makanan ubi dan pisang goreng. Disni kami menikmati indahnya pemandangan alam dilengkapi keramahan warga setempat.
Flores adalah pulau yang sangat indah, terkenal dengan julukan pulau 1000 tikungan di kalangan bikers. Sejak memulai perjalanan dari Labuan Bajo dengan tujuan Aimere, Jum’at (23/8) kami sudah menikmati tikungan tiada henti. Saat memasuki Lembor, hamparan sawah seperti permadani terlihat hingga ke ujung mata memandang.
Kabut tebal menyapa kami saat tiba di Ruteng hingga jarak pandang hanya sekitar 5 meter, harus ekstra waspada karena sisi kanan dan kiri bisa saja jurang. Tiba di Aimere, pelabuhan tampak sepi, ternyata kapal tidak ada yang sampai karena ombak besar di laut Sawu Sumba. Kami pun putuskan untuk menuju Larantuka, tapi sebelumnya kami akan bermalam di Ende.
Saat tiba di Ende, beberapa kawan dari bikers setempat menyambut kami, salah satunya dari YNCI Ende yang memantau perjalanan kami dan kita pun menuju loksi kopdar mereka di warung milik anggotanya.
Sabtu (24/8), kami urungkan niat untuk ke Larantuka seperti rencana sebelumnya. Inilah kenyataan yang harus kami terima karena jadwal kapal di Larantuka ternyata ada pada hari Senin. Dan kami mendapat kabar bahwa ada kapal non ASDP yang akan berangkat ke kupang esoknya, Minggu (25/8) pagi.
Itu tandanya kami bisa eksplore Ende, dan pilihan kami jatuhkan ke Desa Adat Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Nusa Tenggara Timur. Disini ada 24 rumah adat yang terbuat dari kayu serta memiliki atap kerucut yang terbuat dari alang-alang kering.
Rumah-rumah ini dibuat mengelilingi sebuah undakan batu berbentuk segi empat yg disebut Tubu Kanga, disinilah ritual adat biasa dilaksanakan saat musim panen atau pernikahan dan tidak sembarang orang bisa naik ke atas Tubu Kanga.
Di rumah adat tersebut terdapat ukiran berbentuk payudara wanita, bukan tanpa alasan, seperti yang dijelaskan Aloysius sang tetua adat yang juga pemahat ulung disana, bentuk payudara adalah perlambang rumah sebagai perut seorang ibu, dimana seorang anak dilahirkan.
Banyak sekali batu berbentuk undakan-undakan yang memiliki fungsi masing-masing, ada kubur batu untuk para tetua adat, batu persembahan tempat babi/kerbau disembelih dan batu yang sama sekali tidak boleh disentuh meskipun oleh warga setempat sekalipun, jika dilakukan atau dilanggar, dipercaya akan datang angin besar atau bencana alam.
Ada juga beberapa cerita yang tidak bisa saya ceritakan disini, seperti gendang dari kulit manusia, pohon beringin besar yang ditakuti anak-anak dengan sebutan pohon anjing, dimana bersemayam didalamnya anjing yang sangat besar dan masih banyak lagi. Tapi saya yakinkan bahwa teman-teman yang mengunjungi desa Adat Wologai akan mendengarnya sendiri.
Menariknya, ada Coffe shop Maro Coffe yang artinya ‘Pondok kopi’, dikelola warga setempat bernama Yuli, dia mendapatkan pendidikan dari sebuah lembaga dunia luar negri yang menyekolahkannya ke Garut untuk belajar menjadi Barista kopi, saat ini kopi asli Wologai sudah di ekspor hingga ke luar negri, asli kopi Wologai benar – benar punya cita rasa khas tersendiri.